Skip to main content

Featured

20 May 2024: Legal Overview on Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), the "Citizen's Saving for Housing"

On 20 May 2024, Indonesia promulgated the Government Regulation Number 21 Year 2024 on the Amendment of Government Regulation Number 25 Year 2020 on the Implementation of Citizen's Saving for Housing (Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat) , commonly called as the " Tapera " . Referring to its definition, in principle, Tapera is a saving, conducted periodically by the "Participant", that can be utilized only for financing the housing and/or can be returned along with its yield resulted after the one's participation is ended. As stipulated in Article 15 of the Tapera regulation, the "Saving" rate has been set at 3% (three percent) of the "Salary" or "Wage" towards the "Employee Participant" (0.5% by the Employer and 2.5% by the Employee), and of the "Income" towards the "Independent Worker...

Pendidikan Pancasila dan kearifan lokal sebagai landasan pengembangan hukum dan ketahanan nasional

Pancasila dan kearifan lokal merupakan norma-norma yang menjadi dasar bagi kehidupan

berbangsa dan bernegara Indonesia, dimana masing-masing norma di dalamnya perlu saling

sinergi dan berkonstruksi secara produktif, dalam konteks ini, secara umum, demi pendidikan

manusia Indonesia yang berkelanjutan serta berkompetensi nasional dan internasional, secara

khusus, demi pendidikan hukum, gagasan dan upaya pengembangan hukum serta ketahanan

nasional Indonesia.


Bagaimanapun, kearifan lokal yang berakar dari peri kehidupan manusia dalam kurun waktu

berkelanjutan menjadi budaya lokal daerah-daerah di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia (Indonesia) telah berlangsung dan dilaksanakan oleh manusia Indonesia dalam

cakupan masyarakat lokal daerah-daerah tersebut bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan

Indonesia; salah satu contohnya berkaitan dengan potensi masif Indonesia, yaitu (i) sumber daya

alam, yang mana potensi pengelolaan sumber daya alam berdasarkan budaya lokal telah

dilakukan oleh masyarakat sebelum negara berdiri (Ade Saptomo, 2005:2) dan (ii) manusia 

Indonesia, salah satu contohnya, pertambahan penduduk di Indonesia hingga menciptakan 

bonus (pada) demografi.


Potensi masif Indonesia tersebut, sumber daya alam dan manusia Indonesia, pun perlu saling

sinergi dan berkonstruksi secara produktif layaknya Pancasila dan kearifan lokal. Sinergitas

berkonstruksi produktif tersebut salah satunya dapat dicapai melalui pendidikan, dalam konteks

ini, pendidikan (berbasis) Pancasila dan kearifan lokal sebagai landasan pengembangan

kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, pada umumnya, dan sebagai landasan

pengembangan hukum dan ketahanan nasional (Indonesia), pada khususnya.


Dengan merujuk pada salah satu tokoh filsafat dan pendidikan nasional, yaitu Prof. Dr. N.

Driyarkara, S.J., yang sering disebut Driyarkara, konsep pendidikan yang dipaparkan oleh

Driyarkara tidak lepas dari konsep hominisasi dan humanisasi; menurut Driyarkara, hominisasi

merupakan sebuah proses yang dialami manusia untuk mencapai tingkat kemanusiannya pada

proses yang dialami oleh manusia ketika ia masih berada dalam kandungan manusia kemudian

lahir dan bertumbuh seiring dengan berjalannya waktu manusia memerlukan pendidikan untuk

mencapai tingkat kemanusiannya karena ketika manusia lahir sebagai makhluk ciptaan Tuhan,

manusia tidak dapat mengerti dan bertindak layaknya manusia yang dibekali oleh akal budi jika

tanpa disertai dengan pendidikan; sedangkan humanisasi merupakan tingkat yang lebih tinggi

yang dapat dimaknai sebagai realisasi pendidikan karakter yang mendasar pada anak

 (manusia) yang akan berguna pada kehidupannya di masa mendatang (L. C. Sary, 2022:2).


Dengan demikian, pendidikan merupakan perihal yang sangat fundamental 

bagi  pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berakar pada manusia, lebih 

lanjut, dalam konteks Indonesia, pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara 

Indonesia yang berakar pada manusia Indonesia memiliki Pancasila dan kearifan lokal yang 

merupakan norma-norma yang menjadi dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara 

Indonesia tersebut, dengan tanpa mengesampingkan sejarah/riwayat

hingga Pancasila menjadi sistem norma, falsafah hidup dasar atau sumber dari segala sumber

hukum dan konstitusi bagi Indonesia. Oleh karena itu, hal-hal berikut ini saling membutuhkan

satu sama lain serta tidak mungkin direduksi, bagi pengembangan kehidupan berbangsa dan

bernegara Indonesia yang lebih baik secara berkelanjutan, yaitu: pendidikan, Pancasila, kearifan

lokal, dan manusia Indonesia.


Lebih lanjut berkenaan hal-hal tersebut (pendidikan, Pancasila, kearifan lokal, dan manusia

Indonesia), secara khusus, demi pendidikan hukum, gagasan dan upaya pengembangan hukum

serta ketahanan nasional Indonesia, sistem hukum nasional dan penyusunan peraturan

perundang-undangan harus memperhatikan cita-cita moral dan cita-cita hukum sebagaimana

diamanatkan oleh Pancasila, adapun nilai-nilai yang bersumber pada pandangan filosofi

Pancasila, yakni:


(1) Nilai-nilai religius sebagai bangsa Indonesia yang terangkum dalam sila “Ketuhanan

Yang Maha Esa”.


(2) Nilai-nilai hak asasi manusia dan penghormatan terhadap harkat dan martabat

kemanusiaan sebagaimana yang terdapat dalam sila “Kemanusiaan yang adil dan

beradab”.


(3) Nilai-nilai kepentingan bangsa secara utuh, dan kesatuan hukum nasional seperti yang

terdapat dalam sila “Persatuan Indonesia”.


(4) Nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat, sebagaimana terdapat di dalam sila

“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.


(5) Nilai-nilai keadilan, baik individu maupun sosial seperti yang tercantum dalam sila

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. (Nasarudin Umar, 2014:163).


Dengan seiring nilai-nilai yang bersumber pada pandangan filosofi Pancasila tersebut, gagasan

dan upaya pengembangan hukum nasional untuk dapat merespon nilai-nilai kompetensi

internasional dan menghadapi tantangan global secara prospektif, membutuhkan konsep-

konsep/teori-teori hukum modern dengan padu padan atau tanpa meninggalkan kearifan lokal

manusia Indonesia sebagai bagian dari perspektif keindonesiaan. Ciri-ciri hukum modern dalam

perspektif keindonesiaan, (di antaranya) sebagai berikut:


- hukum modern Indonesia dibingkai oleh tiga konsep kedaulatan dalam sistem hukum

nasional, yaitu kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan negara tanpa

mempertentangkan dan memisahkan satu sama lain.


- hukum modern Indonesia adalah kombinatif, hukum yang substansinya mengkombinasi

nilai-nilai hukum agama, nilai-nilai moral, nilai-nilai hukum adat, dan nilai-nilai hukum

Barat dalam satu kesatuan sistem hukum nasional yang diadopsi secara proporsional


- hukum modern Indonesia adalah tidak sekuler, ketentuan substansi hukumnya tidak

memisahkan agama, hukum, dan moral etis. Ketiganya dipadukan sebagai satu kesatuan

dalam merespon berbagai persoalan sosial, artinya, hukum Indonesia yang modern adalah

hukum yang tidak menghendaki materialisme yang terlepas bebas. Demikian pula hukum

Indonesia modern adalah hukum yang tidak memisahkan moral dan hukum, dan

merupakan hukum yang tidak membenarkan marxisme maupun kapitalisme.


- hukum modern Indonesia adalah plural hukum yang mengayomi persamaan dan

keberagaman, suku, ras, budaya, dan adat istiadat, artinya hukum modern Indonesia

mengakar pada kesadaran hukum masyarakat yang sinergis, hukum mensinergikan

berbagai kekhususan dan keistimewaan baik satuan-satuan daerah istimewa maupun

kesatuan masyarakat karena adat istiadat dan syariat agama.


- hukum modern Indonesia adalah responsif dan visioner terhadap kebutuhan hukum dan

perkembangan serta dinamika masyarakat baik pengaruh dari budaya luar maupun dalam

budaya Indonesia sendiri, seperti demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), hukum lokal,

dan lain-lain.(Nasarudin Umar, 2014).


Namun demikian, gagasan dan upaya pengembangan hukum nasional bukan berarti tanpa

tantangan dan hambatan, dalam hal ini dengan cakupan lokal dan nasional, salah satu contohnya

berkaitan dengan potensi masif Indonesia, yaitu (i) sumber daya alam, dan (ii) manusia

Indonesia, seringkali timbul ketidakpastian hukum, baik pada pengaturan dan pengelolaan

sumber daya alam maupun manusia Indonesia. Lebih lanjut, ketidakjelasan hukum diduga

menjadi faktor penyebab ketidakpastian pengaturan status sumber daya alam terutama bagi

kepentingan masyarakat luas. Kondisi demikian ini pernah pula digambarkan Franz von Benda

Beckmann, bahwa ketidakpastian hukum dimaksud muncul karena, pertama, dengan adanya

tatanan hukum yang plural menjadi tidak jelas konsep hukum dan peraturan apa yang benar-

benar relevan untuk menentukan status hukum dari sumber daya alam; ketidakjelasan ini

menyangkut hak dan kewajiban apa, didasarkan atas hukum mana yang dimiliki masyarakat

dalam masalah (terkait) sumber daya alam dan jaminan sosial; kedua, sekalipun diketahui

tatanan hukum mana yang berlaku, namun tidak selalu jelas apakah bentuk aturan-aturan

substantif dari subsistem ini. Hal ini terjadi pada legislasi negara dan peraturan-peraturan adat;

ketiga, jika aturan-aturan relevan tampak agak jelas, terdapat ketidakpastian dalam hal

konsistensi aplikasi dari aturan-aturan semacam ini guna memutuskan masalah dan konflik.

Penentu kebijakan hukum di negeri ini sudah seharusnya memahami dengan baik kemajemukan

hukum masyarakat lokal, segera mendialogkan antara hukum negara dan lokal serta

mengkooperaskan antara kepentingan nasional dan masyarakat tempatan, sehingga ada

kebaharuan hukum yang diterima masyarakat sebagai produk interaksi hukum lokal dan negara.

Pembangunan hukum nasional (juga) harus merupakan produk dialogis vertikal antara hukum

lokal dan hukum negara, dan sekaligus dialogis horizontal antar hukum lokal itu sendiri (Ade 

Saptomo, 2006).


Di samping salah satu tantangan dan hambatan tersebut, secara umum, demi pendidikan 

manusia Indonesia yang berkelanjutan serta berkompetensi nasional dan internasional, secara 

khusus, demi pendidikan hukum, gagasan dan upaya pengembangan hukum serta ketahanan 

nasional Indonesia, berakar pada manusia Indonesia; manusia Indonesia sebagai pelaku 

kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam memaknai manusia Indonesia, 

Driyarkara berpijak pada dinamika pengalaman eksistensial manusia dalam berrelasi dengan 

dunia, dengan sesama manusia, dan dengan Tuhan. Melalui metode fenomenologi berlingkaran 

sampai pada manusia fundamental Pancasila, yakni persona dinamika dalam bermasyarakat 

dan bernegara bergotong royong mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama, Driyarkara 

secara teoritis, meletakkan landasan filosofis jatidiri manusia (Indonesia) sebagai cerminan nilai-

nilai Pancasila; secara praktis, memberikan inspirasi jatidiri manusia (Indonesia) yang harus 

dibangun dengan landasan akar budaya Pancasila (S. Purwo, n.d.).


Semua uraian hal-hal tersebut di atas, secara kumulatif mampu mempengaruhi (aktualisasi 

positif dan/atau negatif pada) pengembangan hukum dan ketahanan nasional dari waktu ke  

waktu. Oleh karenanya (pendidikan, Pancasila, kearifan lokal, dan manusia Indonesia), landasan

pengembangan hukum dan ketahanan nasional Indonesia merujuk dan tercipta, demi kehidupan

berbangsa dan bernegara Indonesia yang lebih baik secara berkelanjutan.


Penyusun: Andrey Mario Wahyu.


Popular Posts