Skip to main content

Featured

20 May 2024: Legal Overview on Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat), the "Citizen's Saving for Housing"

On 20 May 2024, Indonesia promulgated the Government Regulation Number 21 Year 2024 on the Amendment of Government Regulation Number 25 Year 2020 on the Implementation of Citizen's Saving for Housing (Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat) , commonly called as the " Tapera " . Referring to its definition, in principle, Tapera is a saving, conducted periodically by the "Participant", that can be utilized only for financing the housing and/or can be returned along with its yield resulted after the one's participation is ended. As stipulated in Article 15 of the Tapera regulation, the "Saving" rate has been set at 3% (three percent) of the "Salary" or "Wage" towards the "Employee Participant" (0.5% by the Employer and 2.5% by the Employee), and of the "Income" towards the "Independent Worker...

Indonesia: Pendekatan mazhab sejarah (historis) bagi pengembangan hukum

Sebelum para ahli hukum Jerman, yang merupakan inti dari mazhab historis, Edmund Burke, telah merumuskan kepercayaan pokoknya akan politik dan filsafat. Ia mencemooh usaha-usaha untuk menyusun suatu konstitusi atas dasar prinsip-prinsip abstrak, dan menegaskan bahwa itu -- untuk menyusun suatu konstitusi -- hanya dapat dihasilkan oleh perkembangan (yang) bertahap dan organis.[1]

Hukum tidak dibuat (tapi) ia tumbuh bersama masyarakat -- hukum tidak mungkin luput dari sejarah (berkenaan) ihwal-ihwal dan hukum-hukum yang ada/berlaku sebelumnya atau di masa lalu, tidak mungkin terpisah dari perjalanan waktu/sejarah (fakta, peristiwa, asal-usul, riwayat) -- dan sejarah (hukum) dapat mengetahui dan mampu menyajikan fakta-fakta, diantaranya, norma-norma, teori-teori, ihwal-ihwal yang mempengaruhi terjadinya / terbentuknya / diubahnya / digantinya / dicabut / dibatalkannya hukum-hukum itu, dari waktu ke waktu sampai masa kini, sebagai latar belakang yang tidak terpisahkan dari (mempelajari) teori-teori hukum (asas, doktrin, aliran hukum, dan lain-lain) yang menyertainya sepanjang sejarah (hukum) itu, sehingga sejarah (hukum) merupakan salah satu fundamental untuk menjelaskan/mengantar kepada hukum-hukum itu (hingga termasuk kritik-kritik bagi ide-ide pengembangan hukum-hukum itu di masa kini).

Prof. Soetandyo Wignjosoebroto memaknai hukum sebagai tatanan normatif yang tidak dapat melepaskan diri dari tradisi normatif masa lalu[2] Beliau juga mengemukakan “…Hukum sebagai norma yang apabila dipatuhi, ia akan bertransformasi menjadi perilaku dan manifes dalam wujud perilaku yang ajeg. Sementara perilaku yang ajeg dalam rentang waktu panjang, akan terpahami secara kolektif sebagai norma” (Wignjosoebroto, 2009:84).[3] Berkenaan dengan hal tersebut, sejarah hukum di Indonesia merupakan salah satu materi substansial bagi pengembangan hukum di Indonesia; bermaterikan norma, perilaku, dan manifes yang ajeg, dalam rentang waktu panjang, merangkai riwayat sejarah hukum “ke-Indonesia-an” (khas Indonesia) bagi pengembangan hukum-hukum itu dari waktu ke waktu dalam “ke-Indonesia-an”, dan untuk merajut “ke-Indonesia-an”.

 



[1] Friedmann, W., Legal Theory, diterjemahkan oleh Mohamad Arifin, Susunan 2: Teori dan Filsafat Hukum (Jakarta: CV Rajawali, 1990), hal.60.

[2] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Yang Lahir Dari Bumi Kultural Rakyat, dalam Shidarta, ed., Posisi Pemikiran Soetandyo Wignjosoebroto dalam Konfigurasi Aliran Pemikiran Hukum: Suatu Diagnosis Awal (Jakarta: Epistema Institute, 2015), hal. 48.

[3] Shidarta, ed., Posisi Pemikiran Soetandyo Wignjosoebroto dalam Konfigurasi Aliran Pemikiran Hukum, dalam Soetandyo Wignjosobroto: Hukum Yang Lahir Dari Bumi Kultural Rakyat (Jakarta: Epistema Institute – HUMA, 2015),

Popular Posts